Kamis, 26 November 2020

Menunggu Keberangkatan

 Di bawah sorot lampu berjarak 2,5 meter dari posisi dudukku. Aku menengadah ke atas. Sorot lampu itu membuat mataku silau. Tak bisa bertahan lama, mataku tak kuat menatap lampu itu. Sekian per detik, Aku cepat membuang pandanganku, menjauhi sorotan lampu itu.

Tanpa tersadar, mataku terpejam dengan refleksnya. Aku menikmati pejaman mataku. Ya, aku memang lelah. Rasanya ingin sebentar saja memejamkan mata.

Hingga pada akhirnya, aku memberikan mataku kebebasan berlama-lama dalam gelapnya pejaman. Aku berpejam sambil tersenyum sebentar. Nyamannnn... sekali rasanya bisa memejamkan mata. Pikirku saat itu.

Aku menenangkan diri. Duduk di tengah keramaian para penumpang, yang juga sama denganku menunggu kabar keberangkatan tiba. Saat itu mungkin banyak yang memperhatikanku.
"Ah biarkan saja. Aku ingin berpejam sebentar". Gumamku lirih.

Dalam hening pejaman, ku coba satukan pikiran. Kok tiba-tiba saja aku teringat masa saat sekolah menengah pertama. Aku teringat memori tentangnya. Teman sekelas waktu aku duduk di kelas VII.

"Ya... Anak itu, Anak spesial" Gumamku dalam hati. Memori ingatanku tentangnya kembali. Anak perempuan yang sering membagi bekal makanannya denganku ketika jam istirahat. Aku yang jarang membawa bekal bahkan mungkin, hampir tidak pernah. Namaku Dewi. Sedangkan Anak baik itu, namanya Ayana. Ayana baik. Tapi banyak juga yang tidak menyukainya. Mungkin karena, Ayana sedikit menyebalkan. Aku akui itu.
Atau mungkin, memang Ayana seperti itu kondisinya. Bisa dibilang, Ayana (Anak Berkebutuhan Khusus).

Saat itu aku tak terlalu mengerti akan ABK. Yang ku tahu, Ayana memang sedikit aneh tingkahnya. Tulisannya tak beraturan dan sangat lama jika diminta untuk menulis. Seperti anak SD yang baru belajar menulis. Aku sangat ingat tentang ini, karena pada masa itu, aku yang sering bertukar buku saat ada pengoreksian tugas dari guru kami. Aku tepat duduk di sebrang kanannya. Dimana Ayana duduk sendiri tak berkawan. Sebrang kiri dan belakangnya, hampir selalu menolak bertukar buku dengannya. Maka paling sering, buku Ayana aku yang mengoreksi.
Walau akhirnya aku sering mengrenyitkan dahiku. Ketika harus membaca setiap kata dan kalimat yang ia tuliskan.

Hari-hari Ayana yang sering sakit, sering tidak masuk sekolah. Sering pula masuk UKS ketika saat pelajaran berlangsung. Kebiasaan Ayana tidak hanya selalu bawa bekal tapi juga bawa minyak angin. Badannya selalu tercium aroma minyak angin. Ayana mudah berkeringat, walaupun saat kondisi cuaca sedang dingin. Terlebih tangannya selalu basah. Ayana yang seperti itu, membuat aku menduga-duga, bahwa Ayana memang kondisinya sedang tidak baik-baik saja.

Ayana sering mengajak aku megobrol ketika jam istirahat. Ayana sering bercerita, kalau Ayahnya sayang sekali dengannya. Ayana juga sedih, banyak teman-teman yang meledeknya, tidak mau bicara dengannya, dan menjauh ketika didekati. Ia pun sering bercerita tentang guru komputer di sekolah yang ia kagumi. Guru komputer, sebut saja Pak Tio. Pak Tio yang paling muda dan gaul di sekolah. Yaa, mungkin itu alasan Ayana menyukai Pak Tio. Bagiku saat itu, hanya bisa bilang "Namanya juga Ayana".

Ayana cukup dekat denganku, walau terkadang, aku pun sering merasa kesal dibuatnya. Dengan kondisinya yang seperti itu, banyak yang tak menyukai Ayana. Maka banyak pula yang meledekku. Hingga Aku sering diledek oleh teman-teman sekelas. Sampai aku dijuluki "Kakaknya Ayana". Hemm.. 😐 Pada saat itu ada rasa sebal saat teman-teman meledekku.
Walau kesal, jengkel, dan sebagainya.
Aku tak pernah tega dengannya. Bagaimanapun juga, Ayana temanku. Aku berusaha tak pedulikan ejekan mereka.

Ayana pernah mengajakku berkunjung ke rumahnya. Perumahannya tidak jauh dengan arah rumahku. Hanya sekali, itupun juga tak sempat masuk ke dalam. Entah, kenapa waktu itu tidak bisa masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya sampai pagar, lalu pergi kembali bersama temanku yang lain.

Kenaikan kelas VIII tiba. Ayana dinyatakan tidak naik kelas oleh pihak sekolah. Dan hari itu juga, saat kenaikan kelas. Hari terakhir, aku melihat Ayana.

Saat keluar pagar sekolah, Ayana ternyata menungguku. Ayana yang berdiri tepat sejauh 2 meter dari pagar sekolah.
Ayana yang bersama Ayahnya, yang selalu setia antar jemput dengan motor supra x nya.

Saat aku mendekat.
Ayana menyapaku, lalu bilang.
"Dew, aku mau pindah sekolah".
Cuma kalimat itu yang ia ucapkan.
Saat itu aku cuma diam, mengangguk.
Lalu Ayana pergi dibonceng Ayahnya.

Pok... (Tepukan dari arah belakang)
"Eh.. Dew. Bangun! Udah lama ya nunggunya? Sorry yaa..." Risa datang dari arah belakang. Aku yang terpejam, langsung sontak terbangun.

"Yuk siap-siap... sebentar lagi kereta kita datang." Risa berdiri, lalu membantuku membawakan barang-barang.

"Oh iya Ris. Oke."
Aku berjalan di belakang Risa yang mendahuluiku.

Sepenjang aku berjalan menuju peron.
Aku masih bergumam sendiri.
"Ayana... Entah mengapa aku tiba-tiba mengingatmu. Ayana, aku menyesal saat ini. Mengapa saat itu aku mengabaikanmu, dan tak menjalin komunikasi denganmu. Hingga terputus sampai saat ini. Kalaupun aku mencarimu via media sosial, sepertinya sia-sia saja. Ribuan nama Ayana di media sosial. Akan sulit untuk mencarinya. Berkunjung ke rumahmu pun, Aku sudah lupa yang mana rumahmu. Ayana, tiba-tiba Aku ingin sekali mengetahui kabarmu. Semoga kamu sehat-sehat Ayana. Tumbuh menjadi perempuan dewasa yang shalihah.
Semoga Allah mempertemukan kita kembali, suatu saat nanti."

"Dew... Jangan lama jalannya. Buruan!"
Risa yabg mendahuluiku, memanggil dengan suara yang agak kencang
Dengan refleks, aku berlari menujunya.

"Ayana... Aku akan mencarimu"
Gumam Dewi, sambil berlari.

Cerita Pendek.
Di tulis oleh ✏️@evatriyuana

Sabtu, 21 November 2020

Humerus Ku

 

Dalam batas pagar besi hitam berkelok pemisah,

di antara dua sisi kanan dan kiri.

Di saat lelap menyergap mata,

terpagar lelap kesunyian gelap.

Panggilnya memantul hingga getaran ossicles memperkuat dan tertahan.

 

Aku mulai bertanya pada ossicles, mengapa kau tak pernah melupakan suara itu?

Ia tak menjawab apa-apa.

Ossicles hanya mentransfer jawaban ke kedua bagian rahang pipiku.

Hingga  membuatku, menarik kedua masing-masing pinggir bibirku secara bersamaan.

Hahh..

Oh yaa.. Aku mengerti Ossicles.

Tiada suara termerdu di dunia, selain suara itu.

 

Rupanya kau jatuh cinta yaa Ossicles pada suara itu?

Hingga tak pernah lupa,

mengirim gelombang suara yang tertahan di setiap sepertiga sunyi.

 

Ossicles, kau tahu?

Ia bagaikan humerus,

Bukan sekedar tempat melekat dan alat penghubung ribuan jaringan ligamen yang kekuataannya berlipat-lipat, ia yang ambisinya mengalahkan baja, ia yang kasihnya sampai menjamah saraf tubuh.

 

Ossicles, kau tahu?

Tanpanya, aku seperti kehilangan humerus.

Tak berdaya, tak dapat menjamah apapun, tak dapat merangkul sisa-sisa kesedihan, tak dapat membalas pelukan kemurungan, aku lumpuh tanpanya.

Ia sumber kekuatan, di setiap lengannya menjuntai ke arahku.

Dan gerakkan lengannya mendekap punggung yang masih sering melewati kata perintah yang ia mau.

Ossicles, Terimakasih telah jatuh cinta pada suaranya.

Jangan pernah tinggalkan atau lupakan suaranya.

Tahanlah suara itu, biarkan ia melekat di gendang telingaku sepanjang kapanpun.

Turuti setiap masuknya suara merdu ibuku Ossicles.

Biar ia selalu menjadi nyanyian kerinduan.

Kapanpun...

dan dimanapun.


Puisi.sajakku

@evatriyuana

Kamis, 19 November 2020

HILANG

 

Separuh raga sempat utuh.

Lewat pesan sanak mengabarkan cerita.

Sempat tertakjub, namun bergulir gundah.

Aku tak dapat memahami, apa yang terjadi, pada keesokan nanti.

 

Detik tak pernah enggan berhenti.

Terus melaju, dengan egois.

Walau belum ada kata siap dalam hati.

Tapi, demi membahagiakan raga agar utuh.

Tak segan untuk siap dan tegap berdiri.

 

Hari demi hari, terus tak pernah enggan menampakkan cerita pada mentari.

Harap sudah membumbung tinggi, namun Tuhan tak menghendaki.

Sudah rela melepas. Tak lagi raga menyaru pada bayangan palsu, yang tak pasti.

 

Sesekejap, aku tak menyadari.

Perjalanan yang terlanjur terpilih, menghapus jejak, menghapus goresan.

Hilang... terbawa kecerian, terbawa hamparan melodi cinta-Nya, terbawa khusyuknya berlabuh pada teduhnya rinai, terbawa pada riuhnya kisah yang kasih.

 

Kini, hilang. Mudah tersingkap, seperti abu. Terbawa, bersama hilangnya nestapa.

Kini, hilangnya berpindah. Seperti kau hilang di balik pintu, saat semua  telah usai.

 

Semua, adalah skenario.

Aku hanya aktor di dalamnya, yang siap menerima skenario selanjutnya.

Kalau nanti hilang lagi,

Aku yakin, skenarioNya, tak akan membuat aku, patah, hati

 

Sajakku.Puisi.

@evatriyuana

Selasa, 17 November 2020

Sayangi anak, Bapak.

 

Judulnya mungkin ga nyambung. Gak apa-apa

Oke, masuk kepada apa yang ingin ku tuliskan hari ini.

Pada dasarnya. Anak itu terlahir sesuai dengan fitrahnya. Yaitu anak yang baik. Tidak ada anak yang nakal, bandel, atau pembangkang, dsb. Hanya saja, pola asuh atau lingkungan yang bisa merubahnya menjadi demikian.

Tanpa diberitahu. Anak akan mengerti, siapa orang tuanya. Begitupun, tanpa di beritahu. Anak akan  mengerti, siapa yang berprilaku baik atau tidak kepadanya.

Ketika sedikit saja, membentak atau memerintahkannya dengan cara yang kasar. Akan membuatnya mengingat dan sulit melupakan kejadian itu. Ia akan cenderung tak menurut dan bahkan memberontak. Beda, dengan sapaan yang hangat, dan perintah yang menunjukkan kasih sayang. Ia akan merespon dengan baik. Dan melakukannya dengan senang hati.

Mungkin benar, jika anak selalu disayang. Ia akan manja. Tapi sangat benar, jika anak tak disayang. Ia bisa liar. Bagiku, anak manja itu hal yang wajar. Fitrahnya, memang begitu. Anak sangat senang disayang dan diperhatikan. Jujur saja, kita yang dewasa. Masih terkadang ingin bermanja dengan orangtua. Walau terkadang, sudah malu untuk mengungkapkannya.

Manja. Itu gak apa-apa. Manja yang kalau kita lihat, selalu terkonotasi dengan anak yang selalu dituruti kemauannya. Dan tak pernah disalahkan. Iya, itu manja yang salah. Manjanya anak bisa kita turuti kemauannya, apabila itu baik untuknya. Jika itu tidak baik, atau malah memberi pengaruh buruk padanya. Tidak perlu dituruti. Beritahu perbedaan antara yang mana yang benar dan mana yang salah. Beritahu pengaruhnya apa. Beriatahu bahwa semua ada akibatnya.

Anak adalah anugerah Tuhan. Tuhan menitipkan untuk didik dan disayangi. Bukan dibentak atau dikasar. Anak itu unik bagiku. Yang menurut kita terkadang sudah benar mendidiknya, tapi ternyata masih salah.

Aku memang belum pernah punya anak. Bahkan belum pernah merasakan mendidik anak secara langsung. Aku hanya pernah, membersamai anak-anak dari seorang ibu melahirkan sampai ia beranjak usia 5 tahun. Aku merasakan, begitu tidak  mudahnya, peran seorang ibu dalam mengasuh. Ya, sangat-sangat menguras hati dan pikiran. Tapi, sosok ibu tetap tersenyum. Walau rumah yang sudah bersih, kotor kembali, walau sudah mencuci, tapi numpuk lagi. Walau mata menghitam, karena tangisan yang membuat terbangun di malam hari, walau, walau, walau, walaupun itu membuat semuanya lelah. Tapi dalam menjaga buah hatinya,ia tak pernah goyah.

Aku saat ini, masih berdiri menjadi sosok anak. Anak yang pernah kecil dan sekarang sudah tumbuh dewasa. Apa yang ku tulis ini. Adalah apa yang ku rasakan, dan apa yang ku lihat, sebagian dari apa yang aku dengar. Ya, mungkin tak semua yang ku ungkapkan ini benar. Opini ini, ku ungkapkan, hanya untuk mengingatkan ku kelak. Bahwa kelak, ketika Tuhan menganugerahkan anak kepadaku. Aku bisa, bisa mendidiknya dan menjaganya dengan baik. Aku tak ingin, melihat anakku, tumbuh dari masa kecil yang tidak aku inginkan, yang pernah ada padaku.

Era ini terbilang sudah baik. Zaman ini, cukup banyak yang bisa kita lakukan dalam memberikan pola asuh yang baik kepada anak. Walau memang, di akhir zaman ini. Kita akan lebih ekstra dalam mendidik.

Yaa.. Selama Tuhan masih memberimu nafas. Selama itu pula, jangan pernah merasa puas.

Terlebih, ilmu tentang anak, yang sampai kapanpun, kita akan dituntut untuk belajar terus dan menerus.

Mungkin semua orang belum tentu memiliki anak. Tapi, semua oarang pasti merasakan jadi anak. Apapun yang pernah kamu lewati, jadikan semuanya pelajaran. Pola asuh apapun yang pernah kamu terima. tetaplah bersyukur. Karena garis hidup orang tidak sama, ada yang perlu berjuang ekstra. Ada yang tidak. Tapi gak pernah ada kata tak berharga bagi anak yang sudah dilahirkan. Allah pilihkan anak yang terlahir di bumi berarti anak itu yang terbaik untuk berada di bumi.

Jadilah anak yang bermanfaat. Agar kelak memilki anak. Bisa menjadi orangtua yang bermanfaat :)

Menunggu Keberangkatan

 Di bawah sorot lampu berjarak 2,5 meter dari posisi dudukku. Aku menengadah ke atas. Sorot lampu itu membuat mataku silau. Tak bisa bertaha...